DewaSport.asia – Bukayo Saka harus berjuang melewati tekanan dan cacian usai kesalahannya di Euro 2020. Saka dianggap jadi biang kerok kegagalan Inggris di partai final.
Saka, bersama Marcus Rashford dan Jadon Sancho, jadi sasaran pelecehan rasial setelah gagal mengeksekusi penalti di babak adu penalti kontra Italia. Saka jadi penendang kelima dan penaltinya bisa ditepis Gianluigi Donnarumma.
Kegagalan Saka ini jadi cerita besar. Dia baru 19 tahun tapi sudah dipercaya jadi penendang kelima yang paling penting dalam adu penalti.
Memang setelahnya Gareth Southgate memastikan bahwa Saka maju jadi algojo karena keputusannya, tapi tetap saja Saka diserang habis-habisan karena gagal.
Pentingnya mental Saka
Bagi pemain muda seperti Saka, kritikan dan pelecehan rasial tentu bisa berdampak besar terhadap kesehatan mentalnya. Saka masih 19 tahun dan kariernya baru saja dimulai bersama Arsenal.
Untungnya, beberapa hari terakhir Saka mendapatkan dukungan luar biasa dari fans dan pemain-pemain lainnya. Sang pelatih, Mikel Arteta, juga membesarkan hati Saka.
“Saya pernah terpuruk, kita semua pernah. Dia (Saka) juga sudah pernah terpuruk,” ujar Arteta di Football London.
“Namun, dengan dukungan, cinta, dan rasa kagum dari semua orang di dunia sepak bola, menurut saya itu adalah trofi terbesar bagi dia.”
Hanya kurang trofi
Lagi pula, Arteta menegaskan bahwa kegagalan Saka di final Euro 2020 kemarin tak lantas mencoreng setahun terakhirnya yang sudah luar biasa. Saka adalah salah satu pemain muda terbaik milik Arsenal saat ini.
“Dia telah menjalani musim luar biasa. Dia jadi pemain terbaik kami sepanjang musim, dia bermain untuk Inggris, dia berhak mendapatkan kesempatan di usia 19 tahun,” lanjut Arteta.
“Apa lagi yang Anda inginkan? Mungkin trofi, tapi Anda tidak bisa mendapatkan segalanya dalam sepak bola,” tutupnya.