DewaSport.asia – Kalau liganya sehat, klub-klubnya sehat. Kalau klub-klubnya sehat, pemain-pemainnya sejahtera, bahkan kaya. Saya selalu percaya urutan prioritas itu dalam pengembangan olahraga. Saya pernah menegaskan itu saat mengelola liga basket profesional dulu (NBL), dan saya terus mengulangi itu sampai sekarang dalam setiap diskusi olahraga dengan siapa pun.
NBA Prioritaskan Aturan
Urutan itu tidak boleh berubah. Kalau sampai berubah, maka sistemnya tidak balance, tidak sustainable. Panggungnya (liga) harus sehat. Tanpa panggung, klub dan pemain tak punya tempat untuk berkiprah.
Saya tidak perlu menyebut contoh yang tidak balance itu bukan? Saya sekarang sedang berkutat di tengah-tengah dunia yang tidak balance itu. Yang entah ke depannya bagaimana. Bisa berubah-ubah begitu saja.
Karena itu, saya senang sekali ketika kasus yang menguji teori saya itu terjadi di negeri empunya industri olahraga: Amerika. Ya, ya, ini dari Amerika lagi. Tapi harus ada contohnya bukan?
Liga basket paling bergengsi di dunia, NBA, sedang menghadapi tantangan urutan kepentingan tersebut. Tepat menjelang berlangsungnya musim 2021-2022 ini. Kasusnya terjadi pada dua tim, Philadelphia 76ers dan Brooklyn Nets. Kebetulan, dua-duanya tim dengan sejumlah bintang, sama-sama kandidat juara di akhir musim.
Debat Philadelphia vs Ben Simmons
Dimulai dari Sixers (76ers) dulu. Soal pemain asal Australia bernama Ben Simmons. Di penghujung musim lalu, ketika playoff, superstar ini tampil kurang memuaskan. Dari dulu dikenal tergolong lemah menembak, dia jadi makin ragu menembak saat playoff. Parahnya, dia juga terpuruk dalam hal free throw, di bawah 40 persen.
Entah kemudian secara psikologis makin membebani atau apa, dia semakin ragu dalam bermain. Pelatih Sixers, Doc Rivers, sampai “tidak berani” memasangnya di akhir pertandingan. Alhasil, Sixers yang peringkat satu wilayah timur harus tereliminasi di semifinal wilayah.
Usai playoff, semua di Philadelphia seolah menuding Simmons sebagai biang kekalahan. Rekannya yang superstar, Joel Embiid, menuding momen ketika Simmons disebut sebagai pemicu kekalahan. Sang pelatih pun memberi jawaban unik saat ditanya, apakah dia yakin Simmons bisa mengantarkan tim jadi juara NBA. “Saya tidak tahu jawabannya,” begitu ucap Rivers.
Rupanya, Simmons ngambek dengan komentar-komentar itu. Dia langsung memutuskan minta di-trade (ditukar) ke tim lain, tidak mau lagi bermain di Philadelphia.
Daryl Morey, general manager Sixers, berupaya memenuhi permintaan. Tapi punya syarat tinggi pula. Sixers harus mendapatkan pengganti yang setara, atau pengganti yang menguntungkan tim. Wajar, manajemen harus seperti itu. Apalagi, Simmons adalah All-Star dan punya nilai tambah bagi tim mana pun.
Rupanya, tidak ada tawaran yang memikat Sixers. Simmons terus ngambek, mengancam tidak akan bergabung di training camp (pekan lalu), dan tetap tidak mau bermain di Sixers. Lewat manajemennya, yang dipimpin Rich Paul, mencoba mem-pressure manajemen Sixers untuk lebih lunak menerima tawaran pertukaran.
Morey bergeming. Dia tidak peduli. Kalau Sixers tidak dapat pengganti setara atau menguntungkan, dia tidak akan menukar Simmons. Pemain 25 tahun itu tetap harus bermain di Sixers.
Training camp dimulai. Simmons tidak datang. Pertandingan pramusim dimulai. Simmons tidak tampil. Sixers tetap keukeuh. Gampang, tinggal mendenda Simmons. Karena gajinya semusim USD 33 juta, tinggal hitung saja berapa dikuranginya berdasarkan berapa game atau latihan yang dia tidak hadir.
Hingga Senin kemarin (11 Oktober), dia sudah mangkir di setiap latihan dan tiga pertandingan pramusim. Dendanya sudah mencapai angka USD 1 juta.
Manajemen Sixers tetap tenang. Silakan Simmons mau gabung atau tidak. Selama tidak ada pertukaran yang baik untuk Sixers, dia tidak akan ditukar. Sixers tinggal potong saja gajinya kalau mangkir.
Akhirnya, pihak Simmons yang mengendur. Dia hadir di Philadelphia. Menjalani protokol pandemi sebelum bergabung dengan tim. Rekan-rekan setimnya mencoba dingin, berupaya supaya situasi tidak terasa aneh. Tapi, para penggemar sudah muak dengan Simmons.
Kepentingan tim yang utama, bukan pemain.
Di Brooklyn, situasinya lebih unik lagi. Kyrie Irving, salah satu superstar Nets, memang tergolong pemain “antik.” Dikenal ada semau gue-nya. Musim lalu, dia tidak hadir dalam beberapa pertandingan karena “alasan pribadi.” Tim masih mau mentoleransinya kala itu.
Sekarang, Nets menghadapi ujian lebih berat. Alasannya, Irving menolak vaksinasi Covid-19 karena alasan pribadi.
Secara aturan, NBA sebagai liga tidak bisa melarang pemainnya untuk menolak vaksinasi. Tim juga tidak bisa. Walau sudah 95 persen lebih pemain NBA menjalani vaksinasi, tetap ada segelintir yang menolak karena berbagai alasan. Ini pada dasarnya aturan yang Amerika banget, yang di satu sisi menghargai keputusan setiap pribadi.
Untuk memastikan pemain yang tidak divaksin membahayakan yang lain, NBA sudah menyiapkan dua protokol. Yaitu lebih longgar bagi yang sudah divaksin, sangat ketat bagi yang tidak divaksin. Contoh, yang tidak divaksin harus lebih rutin di-swab dan menjalani pemeriksaan macam-macam.
Namun, ada aturan-aturan pemerintah daerah (negara bagian atau kota) yang berbeda. Karena setiap tim NBA adalah unit usaha di sebuah wilayah, maka tim itu harus menaati aturan di wilayah tersebut.
Pemerintah New York termasuk yang ketat. Hanya yang sudah divaksin yang boleh memasuki gedung event. Jadi, kalau ada pemain Brooklyn Nets atau New York Knicks yang belum divaksin, maka dia tidak boleh bertanding di kandang sendiri. Hanya boleh bertanding di laga-laga tandang, dengan catatan kota-kotanya tidak punya aturan seperti New York.